Banyak perusahaan yang mengalami persoalan tingginya tingkat pergantian
karyawan. Betapa orang mudah keluar-masuk perusahaan itu. Orang meninggalkan
perusahaan untuk gaji yang lebih besar, karier yang lebih menjanjikan,
lingkungan kerja yang lebih nyaman, atau sekedar alasan pribadi. Tulisan ini
mencoba menjelaskan persoalan ini.
Belum lama ini, Sanjay, seorang desainer software senior, mendapatkan
tawaran dari sebuah perusahaan internasional prestisius untuk bekerja di cabang
operasinya di India sebagai pengembang software. Dia tergetar oleh
tawaran itu. Sanjay telah mendengar banyak tentang CEO perusahaan ini, pria
karismatik yang sering dikutip di berita-berita bisnis karena sikap
visionernya. Gajinya hebat. Perusahaan itu memiliki kebijakan SDM ramah
karyawan yang bagus, kantor yang masih baru, dan teknologi mutakhir, bahkan sebuah
kantin yang menyediakan makanan lezat.
Sanjay segera menerima tawaran itu. Dua kali dia dikirim ke luar negeri
untuk pelatihan. “Saya sekarang menguasai pengetahuan yang paling baru”,
katanya tak lama setelah bergabung. Ini betul-betul pekerjaan yang hebat dengan
teknologi mutakhir. Ternyata, kurang dari delapan bulan setelah dia bergabung,
Sanjay keluar dari pekerjaan itu. Dia tidak punya tawaran lain di tangannya,
tetapi dia mengatakan tidak bisa bekerja di sana lagi. Beberapa orang lain di
departemennya pun berhenti baru-baru ini.
Sang CEO pusing terhadap tingginya tingkat pergantian karyawan. Dia pusing
akan uang yang dia habiskan dalam melatih mereka. Dia bingung karena tidak tahu
apa yang terjadi. Mengapa karyawan berbakat ini pergi walaupun gajinya besar ?
Sanjay berhenti untuk satu alasan yang sama yang mendorong banyak orang
berbakat pergi. Jawabannya terletak pada salah satu penelitian terbesar yang
dilakukan oleh Gallup Organization. Penelitian ini menyurvei lebih
dari satu juta karyawan dan delapan puluh ribu manajer, lalu dipublikasikan
dalam sebuah buku berjudul First Break All the Rules.
Penemuannya adalah sebagai berikut:
Jika orang-orang yang bagus meninggalkan perusahaan, lihatlah atasan
langsung/tertinggi di departemen mereka. Lebih dari alasan apapun, dia
adalah alasan orang bertahan dan berkembang dalam organisasi. Dan dia
adalah alasan mengapa mereka berhenti, membawa pengetahuan, pengalaman, dan
relasi bersama mereka. Biasanya langsung ke pesaing.Orang meninggalkan manajer/direktur anda, bukan
perusahaan, tulis Marcus Buckingham dan Curt
Hoffman penulis buku First Break All the Rules.
Begitu banyak uang yang telah dibuang untuk menjawab tantangan
mempertahankan orang yang bagus - dalam bentuk gaji yang lebih besar, fasilitas
dan pelatihan yang lebih baik. Namun, pada akhirnya, penyebab kebanyakan orang
keluar adalah manajer. Kalau Anda punya masalah pergantian karyawan yang
tinggi, lihatlah para manajer/direktur Anda terlebih dahulu. Apakah mereka
membuat orang-orang pergi? Dari satu sisi, kebutuhan utama seorang
karyawan tidak terlalu terkait dengan uang, dan lebih terkait dengan bagaimana
dia diperlakukan dan dihargai. Kebanyakan hal ini bergantung langsung dengan
manajer di atasnya.
Uniknya, bos yang buruk tampaknya selalu dialami
oleh orang-orang yang bagus. Sebuah survei majalah Fortune
beberapa tahun lalu menemukan bahwa hampir 75 persen karyawan telah
menderita di tangan para atasan yang sulit.
Dari semua penyebab stres di tempat kerja, bos yang buruk kemungkinan yang
paling parah. Hal ini langsung berdampak pada kesehatan emosional dan
produktivitas karyawan. Pakar SDM menyatakan bahwa dari semua bentuk
tekanan, karyawan menganggap penghinaan di depan umum adalah hal yang
paling tidak bisa diterima. Pada kesempatan pertama, seorang karyawan mungkin
tidak pergi, tetapi pikiran untuk melakukannya telah tertanam. Pada saat yang
kedua, pikiran itu diperkuat. Saat yang ketiga kalinya, dia mulai mencari
pekerjaan yang lain. Ketika orang tidak bisa membalas kemarahan secara terbuka,
mereka melakukannya dengan serangan pasif, seperti: dengan membandel dan
memperlambat kerja, dengan melakukan apa yang diperintahkan saja dan tidak
memberi lebih, juga dengan tidak menyampaikan informasi yang krusial
kepada sang bos.
Seorang pakar manajemen mengatakan, jika Anda bekerja untuk atasan yang
tidak menyenangkan, Anda biasanya ingin membuat dia mendapat masalah. Anda
tidak mencurahkan hati dan jiwa di pekerjaan itu. Para manajer bisa membuat
karyawan stres dengan cara yang berbeda-beda: dengan terlalu
mengontrol, terlalu curiga, terlalu mencampuri, sok tahu, juga terlalu mengecam. Mereka
lupa bahwa para pekerja bukanlah aset tetap, mereka adalah agen bebas. Jika
hal ini berlangsung terlalu lama, seorang karyawan akan berhenti - biasanya
karena masalah yang tampak remeh. Bukan pukulan ke-100 yang merobohkan seorang
yang baik, melainkan 99 pukulan sebelumnya. Dan meskipun benar bahwa orang
meninggalkan pekerjaan karena berbagai alasan, untuk kesempatan yang lebih baik
atau alasan khusus, mereka yang keluar itu sebetulnya bisa saja bertahan, kalau
bukan karena satu orang yang mengatakan kepada mereka, seperti yang dilakukan
bos Sanjay: Kamu tidak penting. Saya bisa mencari puluhan orang
seperti kamu.
Meskipun tampaknya mudah mencari karyawan, pertimbangkanlah untuk
sesaat biaya kehilangan seorang karyawan yang berbakat. Ada biaya untuk mencari
penggantinya. Biaya melatih penggantinya. Biaya karena tidak memiliki seseorang
untuk melakukan pekerjaan itu sementara waktu. Kehilangan klien dan relasi yang
telah dibina oleh orang tersebut. Kehilangan moril sejawat kerjanya. Kehilangan
rahasia perusahaan yang mungkin sekarang dibocorkan oleh orang tersebut kepada
perusahaan lain. Plus, tentu saja, kehilangan reputasi perusahaan. Setiap orang
yang meninggalkan sebuah korporasi akan menjadi dutanya, entah tentang kebaikan
atau keburukan.
Bagaimana pendapat Anda (sebagai bawahan maupun atasan) ?
0 comments:
Post a Comment