Suatu malam
penghujung 1989, di sebuah restoran McDonald’s di kawasan Orchard Road
Singapura, seorang lelaki bertubuh subur sedang membersihkan meja. Dengan
seragam T-shirt bergaris-garis merah yang agak kesempatan dan topi berlabel M
khas McDonald’s, lelaki yang tak lain adalah Bambang Rachmadi, mantan presdir
Panin Bank tadi tampak serius bekerja.
Jatuh
miskinkah ia ? Bisa jadi. Karena setelah mengundurkan diri dari kursi puncak
Panin Bank pada November 1988, nama Bambang nyaris tenggelam. Tak terdengar
lagi apa kegiatannya kemudian. Bila setahun kemudian banyak pengusaha Indonesia
melihatnya tiba-tiba menjadi pekerja kasar di jaringan fast-food terbesar di
dunia itu, orang pun bertanya-tanya. Repotnya, Bambang pun tak bisa menjelaskan
apa yang sedang ia lakukan. “Soalnya saya mesti jaga rahasia.
Saya nggak ingin
pers Indonesia tahu sehingga membuat MD batal memberikan lisensinya kepada
saya,” ucap menantu Wapres (ketika itu) Sudharmono, yang kini managing director
PT Ramako Gerbangmas, pemilik dan pengelola jaringan restoran McDonald’s
Indonesia. Kehati-hatian Tonny, sapaan akrab Bambang tampaknya memang wajar.
Karena MD adalah satu-satunya taruhan Tonny setelah keluar dari Panin.
Apalagi, ia harus
menunggu satu tahun setelah memasukkan aplikasi hanya untuk bisa dipanggil
mengikuti pelatihan. Dan pelatihan di Singapura yang disebut On the Job
Experience (OJE) itu, bukanlah lampu hijau untuk memperoleh lisensi MD. OJE
adalah semacam tes awal bagi pelamar. Tapi itulah tes yang paling berat. Karena
dalam latihan kerja pelayan, seperti melap meja, membersihkan toilet serta
menjadi tukang parkir, inilah para pelamar banyak yang gugur.
Pada Februari 1991,
restoran MD milik Tonny resmi dibuka di Gedung Sarinah, Jalan MH Thamrin,
Jakarta. Dibukanya outlet MD pertama di Indonesia itu sekaligus menjawab
pertanyaan tentang menghilangnya Tonny selama 2,5 tahun dari dunia bisnis
Indonesia. Restoran itu juga merupakan buah dari perjuangan Tonny selama hampir
tiga tahun. Dia adalah salah satu dari 13 orang Indonesia yang melamar ke MD
selama 10 tahun ini. Dan untuk menang, kali ini ia harus bersaing dengan 39
kandidat.
Ide menjadi
wirausaha bermula ketika ia mulai “bosan” menjadi pucuk pimpinan di bank milik
Mu’min Ali Gunawan. Padahal sebagai bankir – ia diangkat menjadi presdir Panin
Bank pada usia 35 tahun – karier Tonny tergolong pesat. Sejak 1971 hingga 1974,
sembari menyelesaikan kuliahnya di FHUI Extension, kelahiran Jakarta ini
bekerja di PT CiceroIndonesia.
Setahun kemudian ia
hijrah ke Bank Duta. Dari bank tersebut ia peroleh kesempatan belajar ke Negeri
Paman Sam. Hasilnya pada 1978 ia berhasil menyabet dua gelar: MSc bidang
internasional banking & finance dari Saint Mary’s Graduate School of Business
Moraga, dan gelar MBA dari John F. Kennedy University Orinda – keduanya di
California. Dengan dua gelar itu, Tonny kembali ke tanah air dan kembali ke
Bank Duta pada 1978.
Setelah sempat
manajer divisi operasi di kantor pusat, ia kemudian dikirim ke Surabaya sebagai
branch manager pada awal 1979. Setahun kemudian ia dipromosikan menjadi kepala
divisi pemasaran. Dia meninggalkan posisinya di Bank Duta sebagai managing
director International Banking pada September 1986 untuk bergabung dengan Panin
Bank. Sebagai orang nomor satu di Panin Bank, ketika itu Tonny sempat melakukan
beberapa pembenahan; manakala kondisi Panin dikabarkan lagi tertimpa
malapetaka.
Menurut harian The
Asian Wall Street Journal, Bank Indonesia sampai menggolongkan Panin dalam
klasifikasi tidak sehat. Di tangan Tonny, perlahan-lahan bank ini mulai melesat
lagi. “Tapi yang lebih penting, bank ini sekarang sudah dinyatakan sehat oleh
BI,” ucap Tonny suatu ketika. Kendati boleh dibilang Tonny cukup berhasil dalam
mengemudikan Panin Bank, toh kursi presdir malah membuatnya gerah. “Salah satu
yang mengganngu pikiran saya adalah karier saya di bank,” ucap Tonny dengan
lirih. Lho? Sebagai orang muda, ia merasa kariernya di perbankan sudah mentok.
Alasan yang lebih
klasik lagi adalah sudah tak ada tantangan. Dan ia ingin mencari tantangan di
lahan yang lain. Apalagi, selama menjadi bankir, Tonny lebih banyak berperan
sebagai penasihat bagi kalangan usaha. “Saya tergugah untuk membuktikan diri
sebagai pemain,” ucap lelaki yang bergabung dengan Panin Bank selama dua tahun
itu. Tekadnya menjadi pengusaha sudah bulat. “Saya ingin jadi pengusaha yang
sukses,” katanya penuh semangat.
Sebelum
mengundurkan diri dari Panin, ia telah melakukan survei tentang beberapa bidang
usaha yang potensi perkembangannya cukup bagus. Walau dalam benaknya terlintas
beberapa bidang usaha, toh industri makananlah, menurut dia, yang paling pas
baginya. Dan McDonald’s adalah partner yang ia pilih. Alasannya, selama ini
restoran MD cukup bagus, dan hampir semua outlet-nya sukses. “Saya berketetapan
harus bisa memperoleh lisensi MD,” ucap bapak tiga anak yang rambutnya sudah
dua warna itu. Memperoleh lisensi MD adalah tantangan yang tak mudah.
Paling tidak
terlihat dari daftar pelamar dari Indonesia selama 10 tahun terakhir ini, ada
13 ribu orang, dan belum ada satu pun yang berhasil. Dan yang lebih berat,
konon, MD tak menginginkan mitra kerja yang tidak memberikan komitmen 100%.
Itulah sebabnya pada bulan September 1988 ia memilih mengundurkan diri dari
Panin, hanya dengan satu cita-cita: memperoleh lisensi MD. Pada saat itu memang
terkesan Tonny mempertaruhkan seluruh kariernya yang hampir 14 tahun di dunia
perbankan.
Padahal,
keinginannya untuk menjadi pemegang lisensi MD Indonesia belum tentu tercapai.
“Kalau waktu itu saya nggak dapat MD, ya saya harus siap mulai lagi,”
kenangnya. Setelah bebas dari Panin, ia mulai mengurus permohonannya ke MD.
Setelah itu? “Hari-hari penantian yang menegangkan,” ucap Tonny bersemangat.
Tentu saja menegangkan, karena ia harus menanti satu tahun sampai diperbolehkan
mengikuti pelatihan. Menanti sesuatu yang belum pasti sangat menegangkan bagi
Tonny.
Karena itu ia
selalu berusaha berkomunikasi dengan MD Pusat. “Paling tidak seminggu sekali
saya berusaha menelepon mereka sekedar just to say hello,” ucap lelaki yang
pernah diusir dan diperlakukan kasar ketika mencoba mengunjungi MD Pusat ini.
Tersinggung? Tidak. Sebab dia sadar betul bahwa semua yang ia lakukan dengan
satu tujuan, “Saya harus menunjukkkan bahwa saya sangat menginginkan.”
Menurut Tonny, MD
adalah pemberi lisensi yang cukup ketat dalam menyeleksi calon mitra kerjanya.
Konon, sebelum memilih Tonny, pihak MD ingin mengenal secara dekat keluarga
besar Tonny. “Mereka ingin tahu bagaimana latar belakang dan kehidupan keluarga
kami,” jelasnya. Karena, MD menginginkan bisnis ini bisa diteruskan oleh
anak-anak Tonny. Bahkan, dalam salah satu kontrak yang harus disepakati –
setelah lisensi diberikan – MD mesti mengetahui segala persoalan yang terjadi
dalam manajemen PT Ramako Gerbangmas (RG), sekalipun mereka tak memiliki saham
di situ.
Hal ini
disyaratkan, karena pihak MD tak menginginkan kalau tiba-tiba saja saham RG
berpindah tangan ke pihak lain yang juga memiliki bisnis fast food merek lain,
misalnya. MD juga mensyaratkan bahwa pemilik saham mayoritas RG harus juga
pemegang kendali bisnisnya. Maksudnya, supaya orang yang mengambil keputusan di
bisnis ini nantinya adalah orang yang benar-benar menguasai bidangnya. Maka,
sejak awal pihak MD telah menanyakan kepada Tonny maupun istrinya tentang siapa
yang akan menjadi Mr. Atau Miss McDonald’s. Begitulah.
Setelah satu tahun
menegangkan, datanglah keputusan bahwa ia boleh mengikuti pelatihan. Tempat
pelatihan pertama sengaja dipilih di Singapura. “Karena di sana banyak orang
Indonesia. Sehingga pressure-nya lebih tinggi,” kata lelaki yang gemar naik
motor gede ini. Dan benar, selama tiga bulan pertama pelatihan – di mana Tonny
harus berseragam pelayan – ia selalu bertemu kenalannya dari Indonesia. Selain
pelatihan yang bentuknya non manajerial, Tonny juga diuji bekerja selama 18 jam
nonstop.
Dari situ akan
terlihat seseorang memiliki bakat melayani atau tidak. Karena, pada jam-jam
pertama barangkali orang masih bisa bersikap manis. Tapi bila telah masuk jam
ke-8 dan seterusnya, maka tingkat kelelahan dan stresnya sudah tinggi,
hilanglah sikap manis. “Biasanya banyak yang nggak lulus di sini,” ucap Tonny,
lalu tertawa. Dalam pelatihan, Tonny yang sebelumnya tak pernah mengepel
lantai, apalagi membersihkan kamar mandi, terpaksa melakukan semua pekerjaan –
yang dalam istilah Tonny: pekerjaan tanpa otak – itu dengan hati lapang. Walau
sering kali ia harus menerima bentakan dan mengulangi hasil kerjanya lantaran
dinilai kurang bersih, misalnya.
Hasilnya memang
memuaskan. Dia berhasil meninggalkan 39 pelamar dan mengalahkan tiga kandidat.
Dari pelatihan “kuli” tadi, baru Tonny digodok di Sekolah milik McDonald’s
yaitu: McDonalds Corporation Hamburger University selama 1 tahun. Sekolah itu
mendidik para calon store manager MD. Sistem pelatihan yang pernah dialaminya
kini ia terapkan bagi semua calon manajer di MD Indonesia.
Setiap manajer yang
ada di MD adalah orang yang telah dilatih dari bawah. “Jadi nggak mungkin
seseorang masuk langsung jadi store manager,” ucap pengusaha yang suka
berbusana seadanya ini. Muti Soetoyo adalah salah seorang manajer yang sempat
merasakan pelatihan gaya MD. Kelahiran Jakarta 27 tahun silam ini, termasuk
karyawan pertama MD yang di-training. Lulusan IKIP Jakarta 1988 itu bergabung
dengan PT RG Juli 1990, lalu dikirim ke Singapura untuk mengikuti program
pelatihan.
Sebelum diterima
menjadi karyawan, lajang berpostur sedang ini diperkenalkan dengan program OJE.
Dalam program ini ia diberi kesempatan mengenal pekerjaan crew dalam beberapa
shift. Dari “latihan” tiga hari itulah diputuskan apakah ia bisa diterima atau
tidak, untuk kemudian diperkenalkan mengikuti pelatihan selanjutnya selama lima
bulan. “Saya dulu nggak pernah membayangkan kalau training-nya seperti itu,”
ucap Muti, first assistant store manager di MD Sarinah, Jakarta, sejak Juni
lalu. Ternyata kini Muti justru sangat menikmati pekerjaannya.
Bahkan, tak jarang
ia harus stand by di kantor sampai pagi hanya untuk menunggu mesin yang sedang
direparasi misalnya. Ketika digodok untuk menjadi training manager ™ Muti harus
melalui tahap pelatihan pelayanan. Setelah lulus, Muti ditempatkan di salah
satu outlet MD di Singapura. Dan pada saat MD Jakarta dibuka, single yang
hingga kini masih kuliah di FEUI ini telah menjadi second assistant store
manager. Selain Muti, masih banyak Muti-Muti lain yang telah tersebar menjadi
manajer-manajer di lima outlet MD. Dan selama ini proses pendidikan terus
berlangsung.Apalagi, untuk tahun 1992 Tonny menargetkan akan membuka 10 cabang
di seluruh Nusantara.
Hasil kerja keras
Tonny selama 2,5 tahun diuji MD memang cukup menakjubkan. Setidaknya, itu
terlihat ketika restoran pertama MD dibuka di Sarinah Jakarta. Begitu
menggebrak pasar, Tonny mengklaim bahwa setiap hari rata-rata terjadi 4 ribu
transaksi. Bahkan, majalah Fortune edisi Oktober 1991 meramalkan penjualan
outlet Tonny akan menempati posisi teratas dari 12 ribu restoran MD di seluruh
dunia.
Setelah menjadi
wirausaha dengan anak buah yang hampir 1.000 orang, masihkan ia berpikir untuk
jadi bankir lagi? “Saat ini sih nggak,” ucapnya serius. Tampaknya, saat ini
Tonny lebih suka berkonsentrasi mengembangkan kewirausahaannya ketimbang
kembali jadi profesional. Tapi, akhirnya Tonny tergoda juga untuk masuk ke bank
lagi. Itu terjadi ketika ia mengambil oper 73% saham Bank IFI pada tahun 1995. “Sebagai
pemegang saham, di Bank IFI saya hanya menjadi komisaris. Saya tetap memegang
MD.
Komitmen saya penuh
pada MD,” kata Tonny. Ya, Tonny tentu tidak akan “nekat” menjadi pengelola bank
lagi. Dengan 42 outlet yang dimilikinya pada pertengahan 1996, MD memberikan
arus kas yang luas biasa bagi Tonny. Transaksi MD selalu tunai. Siapa yang sudi
melepas mesin kas seperti itu ? Dengan memiliki usaha sendiri minimal Tonny
terbebas dari keharusan berpakaian rapi, berdasi dan wangi. Kini Tonny sudah
terbiasa mengenakaan pakaian santai, mengendarai Harley Davidson untuk
memonitor Kelima outlet yang tersebar di Jakarta.
Hadirnya MD di
Indonesia, ternyata tak cuma menambah “gemuk” Tonny – yang nyaris menyamai
kegendutan mascot MD – saja. “Berat badan saya 70 kg,” ucapnya dengan mimik
serius. “Itu nggak pakai tangan, kaki dan kepala. Ha…ha…ha…,” sambil tertawa
berderai. Yang jelas, Sarinah, gedung pertokoan bertingkat pertama di Jakarta
ini juga terimbas kesuksesan MD. Sejak kebakaran pada awal 1980-an Sarinah
nyaris hilang dari peredaran.
Apalagi munculnya
pusat-pusat perbelanjaan yang lain, semakin menenggelamkan nama Sarinah. Namun
setelah MD mangkal di situ Sarinah menjadi marak kembali. Itulah Tonny, dia
adalah satu diantara segelintir profesional yang berani mengambil resiko.
Melepaskan atribut keprofesionalannya, kemudian memulai dari nol untuk menjadi
seorang wirausaha. Dan berhasil !
Kini dia peroleh
nama baru : Mr. McDonald’s.
NB.
Kisah diatas bukanlah bermaksud mengompori anda untuk “get
out from your job now” but “get the messages from this story”. Kita
dapat mengambil semangat untuk sukses dari seorang Bambang Rachmadi, semangat
melayani dengan hati tulus yang sebenarnya kepada customer, semangat mencintai
pekerjaan sehingga sukses akan mencintai anda, semangat berani menerima dan
mencoba hal-hal yang baru, semangat tidak malu dengan apa yang dilakukan
walaupun itu pekerjaan yang rendah, orang sukses berawal dari bawah
(kerendahan), bawah/krendahan inilah yang akan menjadi pondasi kuat untuk
mencapai dan memegang kunci sukses.
0 comments:
Post a Comment