Kisah di atas bukan
sekadar kisah fiksi. Tentu hal ini pernah dialami, oleh kita atau orang
di sekitar kita. Posisi kita sebagai karyawan malang tersebut, pimpinan,
pihak personalia, atau teman-teman karyawan?
Kita cenderung
menghakimi seseorang tanpa bertanya terlebih dahulu. Hal ini terjadi
karena kita biasanya menggunakan kaca mata yang pas, yang cocok menurut
kita. Bahkan lebih arogan lagi, kita sering membandingkan diri kita
dengan orang lain. “Aku yang rumahnya lebih jauh saja bisa datang lebih
awal.”, “Aku juga punya banyak urusan tapi tugasku selesai.” dan
sebagainya. Tapi kita lupa, kehidupan tak pernah sama dan tak bisa
dibandingkan. Ada hal-hal yang menjadi keterbatasan bagi orang lain dan bagi kita, tidak . Sangat aneh jika kita membandingkan kehidupan dua orang yang berbeda dengan latar belakang yang berbeda tapi tuntutan sama.
Oleh karena itu kita harus lebih bijak dalam menyikapi banyak hal. Ada beberapa hal yang harus kita lakukan:
1. Banyak mendengarkan
Alloh memberi kita
dua telinga dan satu mulut. Tentu ada fungsinya, yakni kita harus lebih
banyak mendengar daripada bicara. Tidak sekadar mendengar pastinya.
Mendengarkan itu sama dengan ‘hear’ kalau dalam bahasa Inggris yang
artinya mendengar sambil lalu. ‘Hear’ berbeda dengan ‘listen’, yang
artinya mendengarkan dengan seksama. Mendengarkan itu butuh waktu, butuh
perhatian, butuh fokus, dan menyertakan pikiran serta hati.
Dengan mendengarkan niscaya kita akan lebih bisa mudah memahami.
Dengarkan dengan baik, tidak menyela, tidak memotong pembicaraan. Jika
sudah mendengarkan jangan berkomentar untuk memberi nasihat yang tidak
diperlukan. Terkadang orang bercerita bukan untuk meminta nasihat.
Terlebih nasihat yang menggurui. Mereka hanya ingin didengarkan.
2. Melihat dari berbagai sudut pandang
Alloh membekali
manusia dengan dua mata. Jika kita tutup mata kanan maka mata kiri akan
melihat sisi kiri dan sebagian sisi kanan demikian juga sebaliknya. Mata
kita akan berfungsi normal dan sempurna jika keduanya terbuka.
Hal ini menjadi
pelajaran bagi kita bahwa ternyata dalam memandang sesuatu kita harus
memandang dari beberapa sisi yang berbeda agar menemukan gambaran yang
sempurna. Kita terkadang harus melepas kaca mata kita. Sebab kita tidak
tahu, jangan-jangan kaca mata kita minus, atau plus, atau silinder
sehingga kita tidak bisa melihat hal yang sama dengan orang lain.
Dalam pelajaran sastra kita mengenal adanya unsur intrinsik, point of view (sudut pandang).
Sudut pandang ini menentukan peran dari pengarang. Ada sudut pandang
orang ketiga, ada sudut pandang orang pertama. Sudut pandang orang
ketiga jika kita menjadi orang yang melihat dari luar. Seperti para
karyawan yang menyaksikan si karyawan malang dimarahi dan makan di pojok
kantin sendiri. Sedangkan sudut pandang orang pertama adalah jika kita
menjadi pelaku. Kita menjadi karyawan yang malang itu.
Sekarang kita coba bandingkan, manakah yang lebih membuat kita sentimental. Cerita karyawan di atas atau cerita di bawah ini:
Hari ini aku bangun
terlambat. Semalam aku harus buat kue bantu ibuku. Sejak bapak pensiun
aku membantu ibuku menjual kue di warung-warung untuk membantu
mengepulkan dapur. Kedua adikku masih sekolah dan tak mungkin
mengandalkan uang pensiun bapak sementara ibu juga harus terapi di RS
sepekan sekali karena sakit. Pagi ini dengan tergesa-gesa aku ke
warung-warung untuk menitipkan kue. Tapi pagi ini warung-warung
langganan tutup sebab ada tetangga yang nikah jadi mereka ikut bantu.
Aku harus ke pasar. Bagaimanapun juga kue ini harus terjual.
Alhamdulillah, kueku bisa kutitipkan di tukang sayur kelililng. Saat aku
mau berangkat ada anak sekolah yang terserempet mobil. Aku ada di
dekatnya. Aku lalu bantu anak itu. Orang-orang tidak mau bantu, alasanannya
karena tidak mau terlambat ke kantor. Aku tergesa mengangkat anak itu
ke angkot, menitipkan agar di bawa ke RS karena aku juga jarus ke
kantor. Syukurlah sopirnya baik. Aku berusaha cari bis yang penuh agar
tidak ngetem tapi tetap saja terlambat.
Sampai kantor aku
dimarahi jika aku sering terlambat. Aku sadar tapi kenapa seolah aku tak
pernah berbuat sesuatu. Hampir tiap hari, aku sering lembur sampai sore
jam 16.00 untuk kerjakan tugas kantor. Sementara yang lain pulang jam
15.00. Aku pulang sampai rumah jam 17.00, istirahat sebentar lalu bantu
ibu membuat kue hingga jam 22.00.
Tak hanya dimarahi
aku diminta ke personalia, gajiku juga dipotong. Sungguh, aku sedih.
Bulan ini aku berencana hadiahkan sesuatu untuk bapak dan ibu. Tapi,
rupanya tak bisa. Aku ingin cerita kepada teman-teman, sekadar share
namun ternyata.. aku duduk sendiri, di pojok kantin. Aku dengar mereka
membicarakanku. Sudahlah, untuk apa aku menceritakan hal-hal yang tidak
ingin mereka dengar. Maka aku mengadu kepada-Nya di siang ini. Aku
sedih.
Bagaimana? Sudahkah melihat dari dua sudut yang berbeda?
3. Mendengar dari beberapa pihak
Meski kita punya
pandangan yang sempurna dari beberapa sudut pandang. Tapi seolah hanya
melihat dari luar kaca jika kita tidak tahu yang sebenarnya terjadi.
Oleh sebab itu selain melihat kita juga perlu mendengar dari beberapa
pihak.
Telinga kita tidak
terletak berdekatan sebagaimana mata. Tapi berada di sisi yang berbeda.
Lagi-lagi Alloh punya hikmah yang luar biasa di baliknya. Mendengarkan
itu penting, tapi lebih penting lagi mendengarkan dari beberapa pihak
agar kita bisa menilai dengan adil dan pas.
Mungkin teman-teman
karyawan itu baru mendengar dari satu pihak saja, tapi mereka belum
mendengar dari pihak si karyawan. Dari mendengar ini kita akan bisa
mengetahui hal yang sebenarnya terjadi dan informasi yang lengkap. Hanya
saja perlu kita pahami dulu, bahwa mencari informasi di sini bukanlah
untuk kepentingan ‘mencari bahan pembicaraan’ melainkan agar kita bisa
bersikap seharusnya. Sebab terkadang tidak semua hal yang diketahui oleh
orang lain berhak kita tahu.
4. Berusaha memahami dan empati
Memahami dan empati
bukan pekerjaan mata ataupun telinga. Memahami dan empati adalah
pekerjaan hati. Dalam ini artinya, kita tidak bisa memaksakan diri
untuk memahami dan berempati sebab hal ini datangnya dari hati. Jadi,
saat ada teman yang share atau curhat kita harus menyertakan hati dalam
melihat dan mendengarkan, niscaya hati akan bekerja.
Jika simpati adalah
perasaan sedih, ikut berduka, ikut kecewa maka empati adalah usaha untuk
membantu. Banyak orang yang ikut bersedih terhadap kejadian yang
menimpa teman mereka. Tapi sedikit yang kemudian menemaninya,
mendampinginya keluar dari kesedihannya, menarkan kebahagiaan, atau
solusi yang tepat tak sekadar nasihat. Itu sebabnya sahabat dan teman
itu berbeda. Itu juga mungkin sebabnya ada orang-orang yang saat kita
tanya “Ada yang bisa kubantu?” ia hanya tersenyum. Ada orang-orang yang
tak pernah mengekspresikan persaannya dengan baik kepada kita. Mungkin
karena kita bukan orang yang tepat baginya.
Memang, kita tak bisa
jadi yang terbaik bagi semua orang tapi jika kita jadi pimpinan atau
atasan kita harus mencoba menjadi pemimpin yang baik. Salah satunya
dengan berempati.
5. Mempercayai
Tidak mudah percaya
memang boleh-boleh saja. Tapi ini akan jadi masalah bila kita tidak
mempercayai siapapun atau malah menganggap bahwa semua orang di sekitar
kita adalah musuh.
Maka cobalah untuk
percaya. Namun percaya yang baik adalah percaya setelah memahami. Jadi,
kita pahami dulu agar nantinya kepercayaan kita ada pada tempatnya,
tidak percaya buta. Selain itu dengan memahami, kita tidak akan kecewa
saat orang tersebut bertindak tidak sesuai dengan yang kita harapkan.
Orang yang percaya sebelum memahami biasanya akan mengucapkan, “Oh, ternyata orangnya seperti itu!”
6. Pilihan kata dan gesture
Dalam berkomunikasi
pilihan kata dan gesture sangat penting. Sehingga tidak menimbulkan
salah paham, salah persepsi. Sama-sama menanyakan alasan terlambat kita
bisa menggunakan pilihan kata, “Mengapa terlambat? Apakah ada keluarga yang sakit? ” daripada “Terlambat terus. Kenapa?”
Ada sebagian orang
yang kemudian menarik diri ketika sudah dituduh. Mereka cenderung diam
dan menjadi tertutup. Tentu saja hal ini akan menghalangi komunikasi dan
semakin memperparah hubungan. Sebaiknya, kita mulai belajar memilih
kosa kata yang tepat agar tidak multitafsir.
Selanjutnya adalah
gestur. Gestur merupakan ekspresi dan gerak tubuh. Gestur biasa
mendukung ucapan yang kita sampaikan. Oleh sebab itu kita juga harus
pandai-pandai memilih gestur. Cara tersenyum, cara menatap, mengangguk,
tertawa, dsb.
Semoga dengan berbuat bijak kita akan menjadi pribadi yang adil dan dapat menentramkan bagi orang lain .
0 comments:
Post a Comment